Menu
RSS
Banner Top Topik Sepekan

Optimalisasi Terminal Baranangsiang Diduga Mengandung Kejahatan Kolusi

Bogorplus.com - Pengaturan tentang Tindak Pidana Kolusi, dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Definisi Kolusi adalah sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, bahwa Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Setiap penyelenggara Negara dilarang melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (vide Pasal 5 angka 4), karena berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang ini, jika melakukan Kolusi dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Alasan adanya dugaan Tindak Pidana Kolusi dalam Optimalisasi Terminal Baranangsiang ini timbul karena beberapa hal. Pertama, adanya dugaan perubahan redaksi (sebagai modus operandi) Pasal khususnya dalam Pasal 25 huruf a Perda Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor Tahun 2011-2031, yang redaksi asli dan awal-nya berdasarkan keterangan anggota Pansus Tata Ruang DPRD Kota Bogor, dokumen milik DPRD Kota Bogor, yang  berbunyi “Optimalisasi terminal Baranangsiang”. Hal mana, redaksi kalimat tersebut-pun telah sejalan dengan dokumen terkait pembentukan Perda dimaksud berupa diantaranya Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Bogor Nomor 551.2-30 tahun 2010 tentang Rekomendasi DPRD Kota Bogor terhadap Penataan Transportasi Kota Bogor, Rancangan Perda RTRW Kota Bogor 2011-2031, dan Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 188.342/Kep.834-Hukham/2011 tentang Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah Kota Bogor Tentang Tata Ruang Wilayah Kota Bogor 2011-2031 beserta lampirannya

Akan tetapi, faktanya saat ini Pemerintah Kota Bogor mempunyai versi sendiri Perda Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor Tahun 2011-2031, yang pada Pasal 25 huruf a redaksinya berbunyi : “Optimalisasi ASET terminal Baranangsiang”. Penyelundupan kata “ASET” ini lah yang merupakan dasar atau alasan Pertama dari dugaan adanya Tindak Pidana Kolusi dalam Optimalisasi Terminal Baranangsiang. Penyelundupan kata “Aset” dimaksud kemudian patut diduga kuat digunakan sebagai modus operandi untuk me-legitimasi dan men-justifikasi seluruh perizinan dan kegiatan terkait dengan permbangunan Hotel dan Mall di lokasi Terminal Baranangsiang, yang bertentangan dengan Perda Nomor 8 tahun 2011 (Asli).

Alasan Kedua, adalah dugaan Tindak Pidana Tata Ruang. Peruntukan lokasi Terminal Baranangsiang telah diketahui baik oleh Pemerintah Kota Bogor, maupun PT. Pancakarya Grahatama Indonesia (PT. PGI) adalah untuk kegiatan terminal saja (fungsi transportasi/terminal). Sejalan dengan alasan Pertama di atas, bahkan PT. PGI pun telah menyadari bahwa redaksi Pasal 25 huruf a Perda Nomor 8 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor Tahun 2011-2031, yang redaksi asli dan awal-nya berdasarkan keterangan anggota Pansus Tata Ruang DPRD Kota Bogor, dokumen milik DPRD Kota Bogor, yang berbunyi “Optimalisasi terminal Baranangsiang”. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Ringkasan Eksekutif Rencana Kegiatan Optimalisasi Aset Terminal Baranangsiang yang dibuat oleh PT. PGI halaman I-33 dan I-44. Dalam dokumen ringkasan eksekutif tersebut tegas dijelaskan: “…juga diperjelas oleh peta RTRW bahwa lokasi kegiatan tersebut hanya diperuntukan untuk kegiatan terminal saja…”…”…(Bappeda) Kota Bogor yang menerangkan bahwa lokasi tersebut hanya dibenarkan untuk penggunaan terminal dan fasilitas pendukungnya…”…”Sementara sisanya (56.54%) lahan dengan fungsi perdagangan dan jasa tidak sesuai peruntukannya sehingga tidak layak secara tata ruang. Namum demikian Pemerintah Kota Bogor melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Bogor bersikukuh dan berani mengeluarkan surat keterangan Informasi Peruntukkan Ruang (IPR) Nomor 645.7/472-fisik tanggal 14 Agustus 2012 yang menerangkan bahwa lokasi rencana kegiatan untuk optimalisasi aset terminal dan fasilitas penunjang berupa jasa perdagangan dinyatakan tidak bertentangan dengan tata ruang (RTRW) Kota Bogor dengan tetap mempertahankan fungsinya sebagai terminal”. 

Padahal, dalam surat keterangan Informasi Peruntukkan Ruang (IPR) Nomor 645.7/472-fisik tanggal 14 Agustus 2012 tersebut telah tegas dinyatakan “Informasi Peruntukkan Ruang ini bukan merupakan izin untuk melakukan pembangunan dan bukan sebagai dasar untuk proses pengurusan perizinan”. Faktanya, atas alasan surat tersebutlah, kemudian dijadikan salah satu dasar keluarnya izin-izin dan berjalannya kegiatan-kegiatan seperti:

Pada tanggal 23 Januari 2013: Hasil Pembahasan Analisa Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) Kegiatan Optimalisasi Aset Terminal Baranangsiang Oleh Pemerintah Kota Bogor qq. PT. Pancakarya Grahatama Indonesia Nomor: 660.1-45-173 tahun 2013;

Pada tanggal 20 Februari 2013: Surat Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 503/213-Lalin tentang Saran Teknis Lalu Lintas;

Pada tanggal 25 Februari 2013: Hasil Pembahasan Dokumen ANDAL, RKL-RPL Kegiatan Optimalisasi Aset Terminal Baranangsiang Nomor 660.1/228-DL;

Pada tanggal 27 Februari 2013: Keputusan Walikota Bogor Nomor 551.22/IPPT.112-BAP tentang Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah Optimalisasi Aset Terminal Baranangsiang;

Pada tanggal 2 Mei 2013: Kegiatan Penolakan atas Rencana Optimalisasi Terminal Baranangsiang ditanggapi dengan Aksi Mogok, Long March, dan Aksi Unjuk Rasa oleh komunitas awak pengendara bis dan mereka yang terkait mencari nafkah di Terminal Baranangsiang ke DPRD Kota Bogor;

Pada tanggal 5 Juni 2013: Kegiatan Upaya penutupan Terminal Baranangsiang oleh Pemerintah Kota Bogor dan Polres Bogor Kota yang ditanggapi dengan Aksi Mogok dan penutupan jalan oleh komunitas awak pengendara bis dan mereka yang terkait mencari nafkah di Terminal Baranangsiang, kemudian penutupan tersebut gagal;

Pada tanggal 3 Juni 2013: Kegiatan Press Release Pemerintah Kota Bogor tentang Informasi Rencana Oprimalisasi Aset Terminal Baranangsiang Terintegrasi di Ruang Rapat III Balai Kota Bogor;

-Pada tanggal 11 Juni 2013: Keputusan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Kota Bogor Nomor: 660.1.45/773 tahun 2013 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Rencana Kegiatan Optimalisasi Aset Terminal Baranangsiang Oleh Pemerintah Kota Bogor qq. PT. Pancakarya Grahatama Indonesia di Jalan Pajajaran Kelurahan Baranangsiang Kecamatan Bogor Timur Kota Bogor;

-Pada tanggal 28 Juni 2013: Keputusan Walikota Bogor Nomor: 645-906-BPPTPM-VI/2013 tentang Izin Mendirikan Bangunan;

-Pada tanggal 7 Juli 2013: Kegiatan Upaya penutupan Terminal Baranangsiang yang kedua kalinya oleh Pemerintah Kota Bogor dan Polres Bogor Kota yang dtanggapi dengan Aksi Mogok dan penutupan jalan oleh komunitas supir awak pengendara bis dan mereka yang terkait mencari nafkah di Terminal Baranangsiang, kemudian penutupan yang kedua kalinya tersebut gagal;

-Pada tanggal 24 September 2013: Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor Kp. 1007 tahun 2013 tentang Persetujuan Analisis Dampak Lalu Lintas Optimalisasi Aset Terminal Baranangsiang di Jalan Nasional.

-Pada hari Rabu 24 Juli 2013: Kegiatan Rapat Pembahasan Peruntukan Terminal Baranangsiang di Kota Bogor, yang dipimpin oleh Asisten Deputi Penataan Ruang dan Pembangunan Daerah Tertinggal Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, yang diselenggarakan bertempat di Ruang Rapat Lantai 4, Gedung Sekretariat KP3EI;

-Serta seperangkat dokumen dan sejumlah kegiatan lain yang terkait.

Penjelasan hal-hal dalam Alasan Kedua ini menunjukkan, apakah ada sebuah “kesengajaan pengabaian” peruntukkan lokasi Terminal Baranangsiang bahwa kemudian makna “hanya diperuntukan untuk kegiatan terminal saja“ sebagai makna yang terkandung dalam Pasal 25 huruf a Perda Nomor 8 Tahun 2011, telah tidak menjadi aturan yang berlaku (legal) dan harus dipatuhi/diakui (legitimate), baik oleh Pemerintah Kota Bogor, PT. PGI, maupun beberapa lembaga pemerintahan lainnya? 

Berdasarkan ketentuan Peraturan Presiden Nomor: 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpuncur, yang kemudian diatur lebih terperinci serta khsusus lagi untuk wilayah Jawa Barat melalui Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 22 tahun 2010 tentang RTRW Jawa Barat, dan pada tataran yang lebih nyata lagi diatur terperinci khusus untuk wilayah Kota Bogor dengan Peraturan Daerah Kota Bogor Nomor 8 tahun 2011 tentang RTRW Kota Bogor 2011-2031, dengan tegas pada pasal 25 huruf a dinyatakan bahwa Rencana peningkatan kualitas dan kuantitas terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) huruf a adalah “Optimalisasi terminal Baranangsiang”, artinya “hanya diperuntukan untuk kegiatan terminal saja. Ketiga aturan ini saling terkait dan terikat sehingga jika diperizinkan untuk membangun Hotel dan Mall, izin-izin dan kegiatan berkaitan dengan Hotel dan Mall selain bertentangan / MELAWAN HUKUM terhadap Perda Nomor 8 tahun 2001 juga selain bertentangan / MELAWAN HUKUM terhadap Perda Jawa Barat Nomor 22 tahun 2010 dan Perpres Nomor 54 tahun 2008. Apalagi selain itu, telah jelas juga ditentukan dalam Pasal 5 Peraturan Walikota (Perwali) Nomor 28 Tahun 2011 tentang Izin Pemanfaatan Ruang, yang menyatakan bahwa Izin Pemanfaatan Ruang diberikan kepada calon pengguna ruang yang akan melakukan kegiatan pemanfaatan ruang pada suatu kawasan/zona berdasarkan rencana tata ruang.

Alasan Ketiga adalah Rasionalitas Komposisi nilai Investasi Pemerintah Kota Bogor dan PT. PGI dengan Kontribusi PT. PGI terhadap Pemerintah Kota Bogor sebagaimana yang diatur dalam Perjanjian BGS dengan Nomor 601/Perj.418-BPKAD/2012 dan Nomor 005/PGI/DIR/VI/2012. Luas Tanah dalam Perjanjian BGS tersebut adalah seluas 21.415 m2 sedangkan di atas Tanah tersebut juga berdiri bangunan di atasnya. Masih berdasarkan Perjanjian BGS tersebut, Nilai Investasi Pemerintah Kota Bogor, berupa Aset berdasarkan nilai penaksiran oleh Kantor Jasa Penilai Publik R.N. Adnan pada tanggal 15 Desember 2011 total sebesar Rp. 138.780.000.000,00 (seratus tiga puluh delapan milyar tujuh ratus delapan puluh juta rupiah), dengan perincian untuk tanah sebesar Rp. 138.212.000.000,00 (seratus tiga puluh delapan milyar dua ratus dua belas juta rupiah), untuk bangunan sebesar Rp. 304.000.000,00 (tiga ratus empat juta rupiah), dan untuk sarana pelengkap sebesar Rp. 264.000.000,00 (dua ratus enam puluh empat juta rupiah). (vide Pasal 2). Sedangkan Nilai Investasi PT. PGI adalah sebesar Rp. 462.863.419.000,00 (empat ratus enam puluh dua milyar delapan ratus enam puluh tiga juta empat ratus embilan belas ribu rupiah) dengan perincian untuk pembangunan terminal berikut sarana dan prasarana penunjangnya sebesar Rp. 23.250.000.000,00 (dua puluh tiga milyar dua ratus lima puluh juta rupiah) dan untuk pembangunan kawasan perdagangan dan jasa berikut sarana dan prasarana penunjangnya sebesar Rp. 439.613.419.000,00 (empat ratus tiga puluh Sembilan milyar enam ratus tiga belas juta empat ratus Sembilan belas ribu rupiah), (vide Pasal 9). Berarti Nilai Investasi keseluruhan baik Pemerintah Kota Bogor maupun PT. PGI, yang umumnya disebut sebagai Nilai Proyek adalah total sebesar Rp. 138.780.000.000,00 + Rp. 462.863.419.000,00 = Rp. 601.643.419.000,00 (enam ratus satu milyar enam ratus empat puluh tiga juta empat ratus sembilan belas ribu rupiah). Berarti perbandingan Nilai Investasinya adalah sekitar: 23% oleh Pemerintah Kota Bogor dan 77% oleh PT. PGI. Lalu Konstribusi PT. PGI kepada Pemerintah Kota Bogor selama 30 tahun masa Perjanjian BGS 2012-2042 yaitu berjumlah total sebesar Rp. 11.289.785.975,00 (sebelas milyar dua ratus delapan puluh sembilan juta tujuh ratus delapan puluh lima ribu Sembilan ratus tujuh puluh lima rupiah) Dengan perincian untuk kontribusi kawasan perdagangan dan jasa selama 30 tahun total berjumlah Rp. 10.722.025.000,00 (yang dibayarkan sebesar Rp. 161.382.000,00 selama 30 tahun dengan sistem kenaikan 5% secara progresif pertahunnya) dan untuk kontribusi dari nilai bongkaran terminal Rp. 567.760.975,00 yang dibayarkan dengan cara cicilan selama 5 tahun. (vide Pasal 10 dan Keterangan Pers Humas Pemerintah Kota Bogor).

Dari penjelasan di atas, ditemukan bahwa :

Harga tanah dan bangunan permeter kurang dioptimalisasikan dalam penilaian appraisal, yang telah dihitung adalah Rp. 138.780.000.000,00 : 21.415 m2 = Rp. 6.480.504,00 permeter. Sementara harga tanah dan banguna pasaran di daerah tersebut adalah minimal Rp. 7.000.000.00 hingga mencapai Rp. 10.000.000,00 permeternya. Jika perkiraan potensi harga minimal rata-rata tanah dan bangunan permeter adalah Rp. 8.500.000,00, maka potensi penilaian harga tanah dan bangunan adalah sebesar Rp. 182.027.500.000,00. Sehingga penghitungan nilai tanah dan bangunan berpotensi kerugian sebesar Rp. 182.027.500.000,00 - Rp. 138.780.000.000,00 = Rp. 43.247.500.000,00 (empat puluh tiga milyar dua ratus empat puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah);

Dari Nilai Investasi Pemerintah Kota Bogor sebesar Rp. 138.780.000.000,00, bahwa dalam 30 tahun hanya dapat menghasilkan/kembali balik lagi ke Pemerintah Kota Bogor berupa Kontribusi sebesar Rp. 11.289.785.975,00, yang artinya tidak mencapai 10% dari nilai investasinya. Padahal dengan mengacu kepada Komposisi prosentasi Nilai Investasi Pemerintah Kota Bogor sebagaimana dimaksud dalam Pejanjian BGS tersebut adalah 23% dari Nilai Investasi Para Pihak, maka seyogyanya dalam waktu 30 tahun Pemerintah Kota Bogor berpotensi minimal menghasilkan pendapatan dari Kontribusi tersebut adalah Rp. 138.780.000.000,00 x 23 % = Rp. 31.919.400.000,00. Sehingga dugaan yang dapat menjadi potensi kerugian yang merupakan potensi Kontribusi untuk Pendapatan Daerah adalah sebesar Rp. 31.919.400.000,00 - Rp. 11.289.785.975,00 = Rp. 20.629.614.025,00 (dua puluh milyar enam ratus dua puluh sembilan juta enam ratus empat belas ribu dua puluh lima rupiah)

Mengingat ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme khususnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 4, bahwa Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain, yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Maka, Alasan Pertama adalah modus operandi dari Alasan Kedua, sedangkan Alasan Kedua adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain. Sedangkan Alasan Ketiga adalah salah satu diantara indikasi atau dugaan adanya hal yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara.

Oleh : Redaksi Dan AHP

back to top
Topik Banner Bottom
ads by bogorplus.com