Menu
RSS
Banner Top Pendidikan

MENYONTEK, MAHASISWA, DAN PINJOL

Judul ini saya buat, setelah hari Minggu kemarin saya berdiskusi dengan orang tua siswa yang peduli pendidikan. Beliau mengeluhkan kebiasaan menyontek pelajar saat ini. Kebiasaan menyontek ini bisa terdeteksi dengan membandingkan hasil nilai ujian pada saat belajar online dengan hasil nilai ujian pada saat belajar offline. Anak-anak yang memperoleh nilai di papan atas pada saat ujian online, ternyata pada saat ujian offline nilainya menjadi papan bawah. Idealnya kalau siswa yang jujur dalam mengikuti ujian, posisi nilai pada saat ujian online dan offline tidak jauh berbeda.

Fenomena tidak jujur bukan hanya pada saat ujian sekolah, tapi juga pada lomba-lomba online seperti Olimpiade Sains Online. Ada fenomena penggunaan joki pada saat lomba Olimpiade Sains. Menyewa jasa joki untuk Olimpiade Sains tentu tidak murah, oleh karena itu sangat mungkin penggunaan joki diketahui orang tua peserta lomba tersebut dan tidak tertutup kemungkinan mendapat restu gurunya karena demi mengharumkan nama sekolah. Fenomena joki ini bisa diketahui dari beberapa pengalaman saya melaksanakan Lomba Sains Online. Kisah tentang joki sering kita dengar juga waktu jaman ujian masuk perguruan tinggi secara offline.

Kebiasaan menyontek atau menggunakan joki untuk sukses dalam ujian atau tes lainnya adalah sikap tidak jujur dalam meraih keberhasilan. Jika sikap ini terus dipelihara maka akan membuat pelaku terbiasa untuk meraih kesuksesan tanpa kerja keras. Sikap ini bisa menjadi bibit tumbuhnya perbuatan korupsi atau kejahatan lainnya, karena ingin meraih kesuksesan dengan cara yang mudah dan cepat. Sayangnya fenomena ini belum mendapatkan perhatian besar dari pemangku kepentingan di dunia pendidikan karena mungkin pemangku kepentingan tersebut lebih fokus kepada hal-hal yang dirasa lebih penting.

Kebiasaan untuk mencapai sesuatu kesuksesan dengan cara yang mudah dan cepat dengan cara apa pun, baik yang halal atau pun yang haram, sepertinya sudah menjadi gaya hidup generasi muda saat ini. Saat ini ada berita viral tentang ratusan mahasiswa yang terjerat pinjaman online (Pinjol) menjadi salah satu bukti kebiasaan tersebut. Kasus ini terjadi karena banyak mahasiswa yang tertarik untuk mengikuti suatu bisnis online yang keuntungannya menggiurkan, tetapi modal yang digunakan untuk menjalankan bisnis online itu diperolah dari pinjaman online. Ketika bisnis online tersebut ternyata adalah suatu bentuk penipuan, akibatnya banyak mahasiswa yang terjerat hutang kepada pihak pinjaman online. Hal ini bisa diketahui setelah banyak mahasiswa yang didatangi oleh penagih hutang dari pihak pinjaman online.

Kasus mirip ratusan mahasiswa yang tertipu seperti ini sudah banyak terjadi, contohnya Trading Binomo yang menipu ratusan orang dan akhirnya membawa pelakunya masuk penjara. Melihat kebiasaan generasi muda saat ini yang ingin meraih kesuksesan tanpa bersusah payah, membuat kasus-kasus di atas akan terus berlanjut, mungkin dengan versi yang berbeda. Jika kebiasaan anak muda meraih kesuksesan tanpa kerja keras menjadi budaya maka ini akan menjadi malapetaka bagi bangsa di masa depan.

Perlu ada upaya serius dari pemerintah untuk menghilangkan kebiasaan meraih kesuksesan dengan cara mudah. Tentunya upaya ini harus dimulai dari dunia pendidikan. Menurut saya ada kesalahan yang mendasar dalam dunia pendidikan kita, yaitu lebih mengutamakan mengasah kecerdasan otak di kepala dan kurang mengasah kecerdasan otak di dada (hati). Efek dari mendahulukan otak di kepala maka tujuan hidup peserta didik adalah untuk meraih kesuksesan yang sifatnya duniawi seperti kekayaan, pangkat, jabatan dan ketenaran. Kesuksesan duniawi itu diperoleh dengan berbagai cara, baik yang halal maupun yang haram, baik dengan kerja keras atau kerja santai. Kebiasaan menyontek generasi muda saat ini membuat cara meraih kesuksesan duniawi cenderung pada cara yang haram dan kerja santai.

Sudah saatnya dunia pendidikan kita untuk fokus pada peningkatan kecerdasan otak di dada (hati). Orang yang otak di dadanya cerdas akan melakukan cara yang halal saja dalam meraih kesuksesan, sebab orang tersebut tidak akan melakukan cara yang haram karena takut kepada Allah. Begitu pula dalam upaya meraih kesuksesan, orang yang otak di dadanya cerdas akan lebih menikmati proses daripada hasilnya. Sebab proses atau usaha yang dilakukan itulah yang dinilai oleh Allah dan para malaikat. Jika orang Indonesia otak di dadanya cerdas tentunya kasus penipuan yang dialami ratusan mahasiswa itu tidak akan terjadi dan tentunya dengan kasus-kasus penipuan lainnya pun tidak akan terjadi. InsyaAllah jika kecerdasan otak di dada menjadi prioritas untuk dicerdaskan, kebiasaan menyontek atau perbuatan curang lainnya dalam merah prestasi akan hilang di dunia pendidikan Indonesia.

 

Bogor, 18 November 2022

Bang Read1

 

Read more...

MENYIAPKAN PEMUDA SUPRARASIONAL

Menjelang Hari Sumpah Pemuda di tanggal 28 Oktober, saya jadi teringat kehadiran beberapa orang lulusan SMA yang bersilaturahmi ke kantor saya sekaligus mohon doa restu untuk melanjutkan kuliah di beberapa perguruan tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka adalah anak-anak muda yang sejak SD atau SMP belajar di Klinik Pendidikan MIPA (KPM), sebuah lembaga pendidikan yang saya pimpin. Mereka adalah anak-anak yang setiap Sabtu rela datang ke Bogor untuk belajar Matematika, ikut olahraga pencak silat, dibina adab dan akhlaknya, serta rajin melakukan ibadah.

Saya tidak terpikir kalau mereka saat ini bisa menjadi sosok-sosok yang bisa membanggakan dan sekaligus Insya Allah bisa diandalkan untuk menghadapi masa depan bangsa, karena di antara mereka banyak yang menjadi juara Olimpiade Matematika dan Sains baik nasional maupun internasional. Saya berdoa anak-anak muda yang pernah kami bina di KPM bisa menjadi sosok-sosok yang mandiri dan mampu mempertahankan keberlangsungan bangsa, bahkan bisa membawa bangsa ini menjadi terhormat di mata dunia.

Berkaca pada pengalaman KPM membina anak-anak Indonesia khususnya di bidang Matematika dan IPA. KPM selalu menekankan bahwa belajar di KPM bukan untuk menjadi juara Olimpiade Matematika dan IPA, walaupun pada kenyataannya banyak anak-anak yang belajar di KPM berhasil menjadi juara di berbagai olimpiade. Tujuan KPM membina anak-anak ini adalah agar mereka menjadi orang yang bermanfaat di masa sekarang dan masa mendatang.

Oleh karena itu, agar menjadi manusia bermanfaat maka anak-anak tersebut harus diasah akalnya (otak di kepala) dengan pelajaran Matematika dan IPA, juga harus diasah hatinya (otak di dada) dengan diajari adab dan akhlak serta diajak untuk rajin beribadah, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Khusus yang beragama Islam, dianjurkan untuk melaksanakan 7 sunah. Selain itu, sebelum masa pandemi, KPM menganjurkan anak-anak yang belajar di kelas khusus untuk mengikuti pencak silat yang diadakan KPM, impiannya adalah agar ketika mereka kuliah ke luar negeri bisa membela diri dan bisa mengenalkan pencak silat ke mancanegara.

Proses pembinaan yang dilakukan selama ini sepertinya sudah mulai menuai hasil ketika setiap tahun banyak alumni KPM yang mohon doa restu untuk kuliah di dalam dan luar negeri. Bahkan, ada juga yang mohon doa restu untuk bekerja di luar negeri. Bagi saya keberhasilan anak-anak muda ini, tentu faktor utamanya ada pada orang tua dan pihak sekolah, sedangkan posisi lembaga pendidikan seperti KPM hanya untuk melengkapi dan mengasah apa yang sudah didapat di sekolah agar lebih tajam dan lebih memberi manfaat.

Hal yang membuat saya bersyukur, saat ini banyak orang tua menitipkan anaknya ke KPM karena untuk bisa lebih rajin ibadah dan agar mempunyai adab dan akhlak yang baik. Pergeseran berpikir pada orang tua ini membuat saya menjadi lebih leluasa untuk menerapkan program-program agar otak di dada anak-anak ini menjadi cerdas.

Cerita saya di atas adalah pengantar untuk para pembaca agar bisa memahami konsep yang coba saya terapkan untuk menyiapkan generasi muda dalam menghadapi masa depan.  Sependek pemahaman saya bahwa manusia dibekali Allah dengan pancaindra, akal (otak di kepala) dan kalbu (hati atau otak di dada). Seharusnya pancaindra, akal dan kalbu (hati) harus dilatih atau diasah agar ketiganya sama-sama sehat atau cerdas. Pancaindra diasah dengan berolahraga dan menjaga pola makan, akal diasah dengan cara belajar dan mengamalkan ilmu yang dimiliki, sedangkan kalbu (hati) diasah dengan adab dan akhlak yang berbaik serta rajin beribadah.

Jika dilihat pelaksanaan pendidikan di Indonesia, kebanyakan atau yang utama diasah itu cenderung akal dan pancaindra, sementara kalbu kurang diperhatikan. Buktinya adalah seseorang dijadikan ranking 1 di kelas di sebuah sekolah, pertimbangan utamanya karena nilai-nilai akademiknya bagus dan fisiknya atau nilai olahraganya bagus. Jarang atau mungkin tidak ada seseorang jadi ranking 1 di kelas dengan pertimbangan utamanya karena adab dan akhlaknya bagus serta rajin ibadah.

Dampak yang terjadi dari kebijakan ini adalah anak-anak lebih suka les Matematika, IPA, bahasa Inggris atau les renang atau les olahraga lainnya agar bisa menjadi ranking di kelasnya. Sementara adab dan akhlak serta rajin ibadah bukan menjadi prioritas orang tua untuk dikursuskan atau dibina secara khusus karena tidak punya dampak penting untuk jadi rangking di kelas.

Banyak yang lupa untuk mengasah hati karena banyak yang beranggapan hati tidak begitu penting. Padahal jika kita renungkan hadis nabi berikut ini:

Rasulullah SAW pernah bersabda, Ingatlah, dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu baik, maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi, bila rusak, niscaya akan rusak pula  seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu.” (HR Bukhari dan Muslim).

Kalbu berdasarkan hadis di atas berpengaruh terhadap kebaikan atau kerusakan jasad. Pada faktanya yang terjadi demikian, hati yang baik akan membuat pikiran menjadi tenang. Pikiran tenang akan membuat fisik menjadi sehat. Fakta medis banyak penyakit fisik yang terjadi karena pengaruh pikiran yang tidak tenang, contohnya stres yang bisa menyebabkan penyakit fisik. Hati yang baik akan menghasilkan pikiran yang baik, seperti berpikir untuk memberi manfaat kepada orang lain dengan apa yang dimilikinya sehingga hati yang baik salah satu manfaatnya bisa melahirkan orang-orang dermawan.

Hati yang rusak bisa melahirkan pikiran yang rusak yang bisa merugikan orang lain, seperti berpikir untuk melakukan korupsi, mencuri, dan perbuatan tidak baik lainnya. Jika melihat pembahasan ini tentunya kita sepakat kalau kalbu punya peran sangat penting dalam kehidupan. Oleh karena, itu mengasah kalbu tidak boleh dilupakan bahkan seharusnya diutamakan.

Jika dipahami lebih mendalam, hati yang baik bisa menghasilkan orang-orang yang beriman dan bertakwa. Manfaat jika suatu negeri penduduknya beriman dan bertakwa ada pada QS. Al-A’raf ayat 96.

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. 

Berdasarkan ayat di atas maka perlunya kita semua menyiapkan anak-anak muda Indonesia untuk menjadi orang-orang yang beriman dan bertakwa agar Indonesia menjadi negeri yang penuh berkah. Supaya membentuk anak-anak muda yang beriman dan bertakwa maka pendidikan saat ini tidak boleh melupakan atau bahkan harus lebih mengutamakan mengasah hati. Bentuknya dengan menjadikan adab dan akhlak serta rajin beribadah sebagai pertimbangan utama dalam memilih siswa berprestasi baik di kelas maupun di sekolah. Pengutamaan mengasah hati ini bertujuan untuk memperkuat kegiatan mengasah akal dan mengasah pancaindra yang sudah ada di kurikulum pendidikan saat ini. Anak-anak muda yang hatinya sehat yang akan membawa negeri ini menjadi penuh berkah, saya menyebutnya anak-anak muda tersebut sebagai Pemuda Suprarasional.

 

Bogor, 26 oktober 2022

Bang Read1

Read more...

RENUNGAN HARI SANTRI

Ketika sudah menjadi Pelatih Guru Matematika, Saya pernah menjadi santri dengan tinggal sekitar 3 bulan di sebuah pesantren di daerah Pantura untuk belajar Bahasa Arab dan kitab kuning. Waktu itu saya bertemu banyak santri dari berbagai pesantren, karena pesantren tempat saya belajar merupakan tempat kursus singkat bagi para santri dari berbagai daerah untuk belajar bahasa Arab dengan metode tertentu. Pertemuan dengan banyak santri dari berbagai pesantren membuat saya semakin mengenal tentang kehidupan pesantren lebih dekat, terutama pesantren tradisional.

Keunikan pesantren salah satunya adalah adab dan akhlak kepada kiai atau guru. Hal tersebut bisa saya lihat ketika para santri ini bertemu guru pasti akan cium tangan, atau ketika berkomunikasi dengan guru/kiai terasa ada rasa sungkan atau hormat. Namun, kondisi seperti sudah sudah jarang saya lihat di pendidikan umum.

Hal lain lagi yang menurut saya cukup menarik adalah rata-rata santri khususnya yang belajar di pesantren tradisional itu adalah kuat menderita. Sebab pada saat saya pesantren di sana banyak fasilitas yang belum lengkap tetapi santri yang berasal dari berbagai daerah menikmati dan mensyukurinya. Malah ada yang berkomentar bahwa fasilitas yang ada di pesantren ini jauh lebih baik dari pesantren asalnya.

Dari sekelumit pengalaman saya ini, seharusnya orang-orang pesantren tradisional bisa menjadi orang sukses karena mereka orang-orang yang tangguh atau tahan banting, karena sudah terbiasa dengan penderitaan. Apalagi dengan adab dan akhlak yang baik mereka bisa mendapat aura atau energi gurunya. Pertanyaannya sekarang justru lulusan pesantren tradisional jarang yang punya daya saing dalam dunia kerja. Ternyata jawabannya saya temukan di sana.

Ketika saya sedang nyantri di sana, ada seorang santri yang bertanya kurang lebih seperti ini “Kalau dalam satu kolam lele saya dapat untung Rp3 juta, berapa untung yang akan saya dapat kalau saya punya 6 kolam lele?”. Inilah asal muasal saya berpikir, jangan-jangan dia tidak bisa penjumlahan dan perkalian. Kemudian saya tanya-tanya tentang penjumlahan puluhan dengan puluhan ternyata tidak bisa menjawab. Ketika ditanya perkalian ternyata tidak bisa menjawab. Hal yang membuat saya bingung karena umur santri ini sudah lebih dari 17 tahun yang dalam pikiran saya urusan berhitung tambah dan perkalian sudah bukan lagi masalah.

Kemudian saya melakukan pengetesan yang sama ke beberapa santri lainnya yang rata-rata umurnya di atas 17 tahun, jawabannya tidak jauh beda. Rata-rata mereka sangat lemah dalam berhitung, dalam bermatematika dan yang agak masalah adalah lemah juga dalam bernalar apalagi yang menggunakan data-data bersifat angka.

Sebenarnya saya sangat mengkhawatirkan kemampuan Matematika santri-santri yang ada di pesantren tradisional ini, sebab dengan kemampuan Matematika yang lemah, nanti merembet pada cara berpikir yang lemah. Hal ini akan membuat para santri ini sulit untuk bersaing di masa depan. Saat ini dibuktikan dengan jarangnya santri khususnya dari pesantren tradisional yang kuliah di jurusan-jurusan yang ada pelajaran eksaknya. Solusi singkat yang saya lakukan saat itu membuat kursus belajar berhitung baik tambah, kurang, kali dan bagi untuk para santri yang sama-sama sedang belajar di pesantren. Setelah saya selesai mesantren saya jadi semakin bersemangat untuk melatih Matematika bagi guru-guru di pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah Islam supaya kemampuan Matematika gurunya bisa lebih baik.

Sudah saatnya, pesantren membuka diri dengan menjadikan pelajaran Matematika dan IPA menjadi kurikulum di pesantren. Pelajaran ilmu Mantiq tentunya butuh penalaran yang bagus. Jika rata-rata santri tidak punya penalaran yang bagus maka ilmu Mantiq akan sulit diajarkan di dunia pesantren. Bahkan akan jadi ilmu langka di pesantren. Penalaran yang bagus akan terbentuk jika santri mempelajari Matematika. Jadi sudah saatnya diperbanyak pesantren yang mengajarkan pelajaran Matematika dan IPA terutama pesantren tradisional. Saya menyebut pesantren yang membuka pelajaran Matematika dan IPA adalah sebagai pesantren berasa sekolah.

Jika pihak pesantren khususnya pesantren tradisional kesulitan untuk mencari guru Matematika atau IPA, maka pihak pesantren bisa bekerja sama dengan dinas pendidikan atau lembaga pendidikan yang ada di wilayah sekitarnya. Karena faktor penting dalam memperoleh guru ini adalah biaya, pihak pesantren harus terbuka jika ada relawan yang mau mengajar Matematika atau IPA dengan bayaran seikhlasnya atau bahkan tidak mau dibayar. Seandainya relawan tersebut agamanya bukan Islam, sebaiknya tetap diterima untuk mengajar karena relawan tersebut mengajar karena faktor kemanusiaan.

Hal yang sangat penting, pemerintah harus mendorong terbentuk pesantren berasa sekolah, agar pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Pemerintah saat ini sudah mulai memerhatikan pesantren dengan adanya Hari Santri dan adanya pengakuan pemerintah untuk lulusan pesantren sehingga bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih serta mulai bermunculannya pesantren yang mempunyai sekolah formal yang kuat dalam bidang matematika dan IPA.

Tetapi jika berkaca pada sejarah apa yang dikorbankan para ulama dan para santri dalam mempertahan kemerdekaan waktu jaman kemerdekaan sepertinya pemerintah harus berbuat lebih baik lagi dalam memperlakukan santri atau pesantren.

Sebaiknya pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru pesantren termasuk pesantren tradisional, meningkatkan kualitas pendidikan pesantren, dan memperbaiki fasilitas pesantren-pesantren yang terdaftar resmi di pemerintah. Sehingga pesantren bisa menjadi pilihan utama menuntut ilmu bagi Umat Islam di Indonesia. Insya Allah jika ini terwujud Indonesia akan menjadi lebih baik.

Selamat Hari Santri!

 

Bogor, 20 Oktober 2022

Bang Read1

Read more...