RENUNGAN HARI SANTRI

Ketika sudah menjadi Pelatih Guru Matematika, Saya pernah menjadi santri dengan tinggal sekitar 3 bulan di sebuah pesantren di daerah Pantura untuk belajar Bahasa Arab dan kitab kuning. Waktu itu saya bertemu banyak santri dari berbagai pesantren, karena pesantren tempat saya belajar merupakan tempat kursus singkat bagi para santri dari berbagai daerah untuk belajar bahasa Arab dengan metode tertentu. Pertemuan dengan banyak santri dari berbagai pesantren membuat saya semakin mengenal tentang kehidupan pesantren lebih dekat, terutama pesantren tradisional.
Keunikan pesantren salah satunya adalah adab dan akhlak kepada kiai atau guru. Hal tersebut bisa saya lihat ketika para santri ini bertemu guru pasti akan cium tangan, atau ketika berkomunikasi dengan guru/kiai terasa ada rasa sungkan atau hormat. Namun, kondisi seperti sudah sudah jarang saya lihat di pendidikan umum.
Hal lain lagi yang menurut saya cukup menarik adalah rata-rata santri khususnya yang belajar di pesantren tradisional itu adalah kuat menderita. Sebab pada saat saya pesantren di sana banyak fasilitas yang belum lengkap tetapi santri yang berasal dari berbagai daerah menikmati dan mensyukurinya. Malah ada yang berkomentar bahwa fasilitas yang ada di pesantren ini jauh lebih baik dari pesantren asalnya.
Dari sekelumit pengalaman saya ini, seharusnya orang-orang pesantren tradisional bisa menjadi orang sukses karena mereka orang-orang yang tangguh atau tahan banting, karena sudah terbiasa dengan penderitaan. Apalagi dengan adab dan akhlak yang baik mereka bisa mendapat aura atau energi gurunya. Pertanyaannya sekarang justru lulusan pesantren tradisional jarang yang punya daya saing dalam dunia kerja. Ternyata jawabannya saya temukan di sana.
Ketika saya sedang nyantri di sana, ada seorang santri yang bertanya kurang lebih seperti ini “Kalau dalam satu kolam lele saya dapat untung Rp3 juta, berapa untung yang akan saya dapat kalau saya punya 6 kolam lele?”. Inilah asal muasal saya berpikir, jangan-jangan dia tidak bisa penjumlahan dan perkalian. Kemudian saya tanya-tanya tentang penjumlahan puluhan dengan puluhan ternyata tidak bisa menjawab. Ketika ditanya perkalian ternyata tidak bisa menjawab. Hal yang membuat saya bingung karena umur santri ini sudah lebih dari 17 tahun yang dalam pikiran saya urusan berhitung tambah dan perkalian sudah bukan lagi masalah.
Kemudian saya melakukan pengetesan yang sama ke beberapa santri lainnya yang rata-rata umurnya di atas 17 tahun, jawabannya tidak jauh beda. Rata-rata mereka sangat lemah dalam berhitung, dalam bermatematika dan yang agak masalah adalah lemah juga dalam bernalar apalagi yang menggunakan data-data bersifat angka.
Sebenarnya saya sangat mengkhawatirkan kemampuan Matematika santri-santri yang ada di pesantren tradisional ini, sebab dengan kemampuan Matematika yang lemah, nanti merembet pada cara berpikir yang lemah. Hal ini akan membuat para santri ini sulit untuk bersaing di masa depan. Saat ini dibuktikan dengan jarangnya santri khususnya dari pesantren tradisional yang kuliah di jurusan-jurusan yang ada pelajaran eksaknya. Solusi singkat yang saya lakukan saat itu membuat kursus belajar berhitung baik tambah, kurang, kali dan bagi untuk para santri yang sama-sama sedang belajar di pesantren. Setelah saya selesai mesantren saya jadi semakin bersemangat untuk melatih Matematika bagi guru-guru di pesantren-pesantren dan sekolah-sekolah Islam supaya kemampuan Matematika gurunya bisa lebih baik.
Sudah saatnya, pesantren membuka diri dengan menjadikan pelajaran Matematika dan IPA menjadi kurikulum di pesantren. Pelajaran ilmu Mantiq tentunya butuh penalaran yang bagus. Jika rata-rata santri tidak punya penalaran yang bagus maka ilmu Mantiq akan sulit diajarkan di dunia pesantren. Bahkan akan jadi ilmu langka di pesantren. Penalaran yang bagus akan terbentuk jika santri mempelajari Matematika. Jadi sudah saatnya diperbanyak pesantren yang mengajarkan pelajaran Matematika dan IPA terutama pesantren tradisional. Saya menyebut pesantren yang membuka pelajaran Matematika dan IPA adalah sebagai pesantren berasa sekolah.
Jika pihak pesantren khususnya pesantren tradisional kesulitan untuk mencari guru Matematika atau IPA, maka pihak pesantren bisa bekerja sama dengan dinas pendidikan atau lembaga pendidikan yang ada di wilayah sekitarnya. Karena faktor penting dalam memperoleh guru ini adalah biaya, pihak pesantren harus terbuka jika ada relawan yang mau mengajar Matematika atau IPA dengan bayaran seikhlasnya atau bahkan tidak mau dibayar. Seandainya relawan tersebut agamanya bukan Islam, sebaiknya tetap diterima untuk mengajar karena relawan tersebut mengajar karena faktor kemanusiaan.
Hal yang sangat penting, pemerintah harus mendorong terbentuk pesantren berasa sekolah, agar pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik. Pemerintah saat ini sudah mulai memerhatikan pesantren dengan adanya Hari Santri dan adanya pengakuan pemerintah untuk lulusan pesantren sehingga bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih serta mulai bermunculannya pesantren yang mempunyai sekolah formal yang kuat dalam bidang matematika dan IPA.
Tetapi jika berkaca pada sejarah apa yang dikorbankan para ulama dan para santri dalam mempertahan kemerdekaan waktu jaman kemerdekaan sepertinya pemerintah harus berbuat lebih baik lagi dalam memperlakukan santri atau pesantren.
Sebaiknya pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru pesantren termasuk pesantren tradisional, meningkatkan kualitas pendidikan pesantren, dan memperbaiki fasilitas pesantren-pesantren yang terdaftar resmi di pemerintah. Sehingga pesantren bisa menjadi pilihan utama menuntut ilmu bagi Umat Islam di Indonesia. Insya Allah jika ini terwujud Indonesia akan menjadi lebih baik.
Selamat Hari Santri!
Bogor, 20 Oktober 2022
Bang Read1