Menu
RSS
Banner Top Topik Sepekan

Matematika dan Karakter Bangsa

Sumber foto ilustrasi: www.freepik.com

Matematika kadung dianggap pelajaran sulit dan menakutkan oleh sebagian besar anak-anak Indonesia. Padahal, matematika bisa menjadi sarana untuk melatih kecakapan berpikir. Di sisi lain, pembelajaran matematika yang bermakna bisa membangun karakter anak. Bagaimana mengubah persepsi negatif ihwal matematika sekaligus menjadikan matematika sebagai alat efektif untuk mengasah nalar dan membangun karakter anak bangsa?

Becermin pada studi internasional seperti Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) dan Programme for International Student Assesment (PISA) yang mengukur bukan saja penyerapan pengetahuan, tetapi juga kecakapan berpikir dan mengolah pengetahuan, hasil studi mengerucut pada satu kesimpulan, siswa Indonesia tak cakap bernalar.

Rasa hirau kita patut terusik dengan kenyataan lemahnya kecakapan bernalar anak-anak kita. Karena kecakapan bernalar merupakan keterampilan yang sangat dibutuhkan untuk hidup di abad 21. Oleh karena itu, belajar bernalar melalui bermatematika harus dilakoni. Dalam bahasa Tan Malaka, “Seorang... kalau sudah dilatih dengan silat yang baik, akan berbeda pandang langkah sikap dan tangkisannya terhadap serangan lawannya. Begitulah juga otak yang sudah dilatih oleh matematika, lain sikapnya terhadap suatu persoalan daripada otak mentah.”

Kekeliruan paradigma pendidikan matematika di Indonesia menjadi salah satu penyebab lemahnya daya nalar anak bangsa. Matematika dipahami hanya sebagai alat menghitung dan proses utak-atik angka tanpa makna. Anak yang pandai berhitung disimpulkan sebagai anak yang pandai matematika. Yang menyedihkan, anak-anak terposisi harus belajar matematika. Karena jika tak belajar matematika maka tak lulus ujian nasional atau tak bisa masuk sekolah favorit, misalnya. Motivasi eksternal yang rapuh dibangun pada diri anak-anak kita. Anak-anak kita sesungguhnya tak paham, untuk apa belajar matematika. Akhirnya, anak-anak kita tidak merasakan kenikmatan bermatematika.

Simpul terlemah terjadinya fenomena lemahnya kecakapan bernalar anak bangsa adalah pembelajaran matematika yang nirmakna. Oleh karena itu, pembelajaran matematika yang nirmakna mesti menjadi titik fokus yang harus dibenahi. Ciri pembelajaran matematika yang nirmakna ditandai dengan proses pembelajaran yang anti-dialogis, siswa hanya sekadar tahu rumus tanpa paham makna, dan belajar hanya untuk mencapai tujuan-tujuan praktis seperti agar lulus ujian nasional, mudah mencari pekerjaan dan dapat gaji saat bekerja, serta tujuan praktis lainnya. Akibatnya, generasi kita lemah bernalar dan kita gagal membangun sikap bermatematika yang baik pada diri anak-anak bangsa.

Belajar bermatematika setidaknya bisa mengembangkan tiga hal, yaitu pemahaman matematika, kecakapan bernalar dan berkomunikasi, serta menumbuhkan sikap intelektualitas, yakni sikap terbuka dengan pemikiran orang lain, menghargai pemikirannya sendiri, dan menghargai matematika sebagai hasil peradaban manusia (Pranoto, 2014). Proses penumbuhan sikap intelektualitas erat kaitannya dengan pembangunan karakter lewat bermatematika. Jika seseorang belajar matematika dengan baik, sejatinya akan muncul sikap konsisten, jujur mengakui kelemahan diri sendiri dan kekuatan orang lain, teguh pendirian, sabar menjalani proses, disiplin, percaya diri karena menghargai pemikirannya sendiri, tidak asbun (asal bunyi) dalam berpendapat, dan karakter lainnya yang bisa direkacipta lewat proses pembelajaran matematika penuh makna. Inilah tantangan pembelajaran matematika di sekolah dan di perguruan tinggi yang sesungguhnya.

Rustworth Kidder (Latif, 2009) menjelaskan bahwa aspek melekat (embedded) merupakan salah satu kualitas yang menentukan keberhasilan suatu program pendidikan karakter, “Jangan memberikan pendidikan karakter secara terpisah; jangan menciptakan semacam ghetto etik yang menempatkan pendidikan karakter pada suatu sudut kurikulum. Integrasikan hal itu kedalam seluruh rangkaian kurikulum dan proses pembelajaran. Guru tidak punya kemewahan waktu untuk mengajar mata pelajaran etik tersendiri, tetapi mereka bisa memberikan pesan etik pada setiap mata pelajaran.”

Guru matematika adalah pendidik karakter. Tak hanya memiliki pemahaman matematika yang bagus dan piawai membuat siswa gemar bermatematika, guru matematika pun mesti konsisten menunjukkan sikap berkarakter dalam keseharian. Pembelajaran matematika di kelas dijadikan ruang praksis penanaman nilai-nilai karakter. Guru mendesain pendidikan karakter berbasis kelas. Guru mengupayakan nilai-nilai karakter dipraktikkan, diperjuangkan, dan diintegrasikan dalam keseluruhan proses bermatematika di kelas. Akhirnya, selain memiliki penguasaan konsep matematika yang baik dan kecakapan bernalar yang andal, anak-anak kita pun memiliki kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang berkarakter.    

Peradaban kehidupan suatu bangsa tengah rusak. Hal ini terjadi karena adanya ancaman mematikan dari ‘tujuh dosa sosial’ yang jauh-jauh hari sudah ditengarai oleh Mohandas K. Gandhi. Salah satu dosa sosial yang kini menjadi warna dasar kehidupan kita adalah terjadinya fenomena pendidikan tanpa karakter. Oleh karena itu, kesadaran harus dibangkitkan. Yudi Latif pernah berujar, “Kejatuhan politik cuma kehilangan penguasa; kejatuhan ekonomi, cuma kehilangan sesuatu. Tetapi kalau kejatuhan karakter, suatu bangsa kehilangan segalanya”. Dengan belajar bermatematika, kita bangun karakter anak-anak bangsa. Hanya dengan cara itu, kita berharap kenangan masa lalu tentang kisah bangsa yang korup dan lemah daya saingnya dalam kompetisi antar-bangsa akan segera diakhiri.

Tulisan pernah dimuat di opini Republika edisi 28 Agustus 2018

back to top
Topik Banner Bottom
ads by bogorplus.com